B. Kerajaan Majapahit di Masa Perdagangan Maritim
Sebelum adanya peran dari Mahapati Gadjha Mada yang menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit, kerajaan-kerajaan di Nusantara belum menyadari bahwa mereka merupakan satu Bangsa.
Menurut Anshoriy dan Arbaningsih, (2008:8-9) bahwa Mahapati Gadjha Mada berwawasan maritime (merkantilisme, navalisme, dan teritori). Apa yang dilakukan orang besar tersebut merupakan kebijakan maritim Kerajaan Majapahit yang benar dalam wilayah perairan Nusantara. Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan maritim yang memiliki sejumlah negeri. Baik di Sumatra maupun Kalimantan. Wawasan maritim tentusaja memiliki implikasi pada strategi dan kebijakan kerajaan tersebut dalam mengelolah dan memanfaatkan laut, terutama dalam masalah trasportasi dan pertahanan. Sebagai pusat kerajaan, ia harus mampu mengkoordinasi negeri asalnya serta melindungi diri dari serangan musuh. Sistem perhubungan laut Majapahit konon diambil alih oleh Pemerintah Hindia-Belanda ketika berkuasa di wilayah Nusantara. Melihat kondisi “maritim” Majapahit serta potensi laut yang luar biasa, selain sebagai sarana perhubungan, Belanda (VOC) mengalihkan secara total orientasi masyarakat Nusantara menjadi masyarakat darat dan dipekerjakan sebagai tenaga paksa atau kerja rodi. Dengan demikian semangat kebaharian masyarakat Nusantara padam karena transformasi sosio-ekonomi dan budaya yang sengaja dilakukan Belanda demi kepentingan ekonominya. Dengan langka-langka yang dilakukan terhadap penuduk asli Nusantara, Pemerintah Hindia-Belanda menjalankan visi kemaritimannya, yaitu dengan menguasai wilayah perairan Nusantara di kawasan utara: Ternate dan Tidore; kawasan tengah: Makasar; kawasan selatan Batavia dan sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
C. Keraton Demak Membangun Tradisi Islam Maritim
Letak kerajaan Demak sangatlah menguntungkan dalam bidang perdagangan dan pelabuhan. Pada tahun 1511 setelah Kesultanan Malaka ditaklukkan Protugis, banyak pedagang yang memutuskan tidak berdagang lagi ke Malaka. Kebanyakan para pedagang pergi ke Demak atau Banten sebagai penggantinya. Dikarenakan para pedagang islam tidak suka akan prilaku Protugis yang membawa nama agama kristen untuk menjalankan exspansinya. Hal semacam inilah yang mengurunkan pedagang islam melakukan perdagangan di Malaka karena akan mengingatkan kembali akan peristiwa perang Salib, dimana terjadi peperangan antara umat islam dengan Kristen. Sejak surutnya Malaka Demak tampil menggantikan posisi Malaka pada waktu itu. Kerajaan Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas.
Disekitar tahun 1512-1513 dilaksanakan serangan terhadap Malaka, yang berahir dengan hancurnya armada laut dari Jawa. Dari seluruh angkatan laut gabungan bandar-bandar Jawa Tengah dan Palembang yang kembali hanya 10 kapal jung dan 10 kapal barang. Adipati Yunus memerintahkan supaya sebuah kapal perang jung besar berlapis baja, yang sebenarnya dapat diselamatkannya, didamparkan di pesisir Jepara dan dibiarkan disitu sebagai kenang-kenangan akan perang yang dilancarkannya “terhadap bangsa yang paling gagah berani sedunia” (Anshoriy dan Arbaningsih, 2008:124). Tidak hanya itu saja kerajaan Demak juga membawa dan menanmkan kebudayannya terhadap kawasan expansinya. Kebudayaan pesisir Jawa Tengah yang melekat di daerah Kalimantan selatan yakni bahasa sentempat banyak bercampur dengan bahasa Jawa dan seni pertunjukan seperti wayan dan sebagainya. Hubungan antara Demak dan Banjar sepanjang tahun dapat dilangsungkan dengan kapal layar pada waktu kekuasaan Islam yang kuat di bandar-bandar pesisir utara Jawa.
Minggu, 03 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar