Pages

Subscribe:

Shopping Online

Selasa, 05 Agustus 2014

Kami Wanita



“God made man stronger but not necessarily more intelligent. God gave woman intuition and femininity. And, used properly, that combination easily jumbles the brain of any man i’ve ever met.” –Farah Fawcett-
Kutipan dari Farah Fawcett tadi cukup relevan dengan kondisi wanita, tentu tanpa mengesampingkan daya laki-laki,ya. Saya juga tidak sedang menjadi feminis. Saya sedang mengagumi betapa Allah memberikan keistimewaan pada wanita saat umat dari agama lain memandang wanita sebelah mata. Allah adil. Adil sekali. Maha adil bahkan. Catatan ini saya tulis bertepatan ketika saya usai menonton film Wanita Tetap Wanita besutan Didi Riyadi, Teuku Wisnu, Irwansyah, dan Reza Rahadian.

Sebelum menonton film ini, saya baru saja dicurhati seorang sahabat yang saya temukan ketika kami sama-sama hijrah dari masa jahiliyah (hehehe). Singkat cerita, ia pernah punya mantan pacar. Barangkali sudah hampir 5 tahun berpisah dan tidak pernah berkomunikasi meskipun lewat dunia maya. Tapi beberapa waktu silam, mereka kembali berkomunikasi. Sahabat saya yang dulunya manja sudah bermetamorfosa meski belum sempurna. Tapi tetap setingkat lebih baik (Insya Allah) dari dia yang dulu saya kenal. Singkatnya, si mantan pacar ini merasa nyaman curhat dengan sahabat saya. Bahkan soal pernikahan. Si sahabat sudah mengingatkan, “kita sama-sama belum menikah, tidak baik saling bicara pernikahan” bahkan bertanya “memangnya tak ada orang lain yang bisa dicurhati soal ini selain aku?”. Sekeras-kerasnya sahabat saya membentengi hati, ternyata setan masih lebih lihai. Sahabat saya jatuh cinta lagi pada si mantan. Apalagi si mantan sering berkata “di antara semua perempuan yang pernah dekat sama aku, hanya kamu yang bisa menerimaku tanpa melihat kesuksesanku.” dan mengaku tidak sedang menjalin status dengan siapa-siapa. Bahkan si mantan pernah mengajak sahabat saya untuk datang di acara keluarganya untuk melewatkan malam tahun baru meski pada akhirnya sahabat saya menolak.
Allah memang sebaik-baik pembuat skenario. Dia memisahkan sahabat saya dari sang mantan walau begitu kerasnya sahabat saya kembali berusaha melupakannya. Tapi nampaknya ujian memang belum berakhir. Setelah berhasil menjauhkan diri dari si mantan selama beberapa bulan, tiba-tiba ada kalimat tak enak mampir di telinganya. Singkat tapi menyakitkan. “Kenapa harus ngambil tunangan orang sih?”. Sahabat saya tadi sempat terpatung beberapa detik kemudian menjawab lirih “Tunangan siapa yang saya ambil? Siapa orang yang saya dekati?”. “Ya, Abimanyu (nama disamarkan) itu. Kalian sempat jalan lagi kan setelah putus.” Jawab orang pertama sembari menyebutkan nama si mantan pacar sahabat saya. *jeglerrr* sahabat saya bilang, kata-kata itu hal yang pertama dan paling menyakitkan untuk dia dengar. Barangkali bahasa gaulnya nano-nano banget. Hehe.
Di akhir cerita, sahabat saya memberikan klarifikasi “Sungguh, Din. Aku nggak pernah tahu kalau dia punya tunangan. Berkali-kali dia datang padaku, aku selalu menanyakan statusnya. Karena aku tahu betul, dia bukan tipe orang yang bisa jauh dari hubungan bernama pacaran. Demi Allah dia selalu bilang, aku sendiri, aku sendiri. Aku pun tidak akan bodohnya mau didekati laki-laki yang punya pacar apalagi tunangan.” Matanya berkaca-kaca. Mencoba menabahkan diri.
Saya menemukan emosi yang hampir sama saat menonton film Wanita Tetap Wanita dengan emosi saat saya mendengarkan cerita dari sahabat saya tadi. Cerita First Crush dalam film ini yang centre of interest nya adalah Revalina yang memerankan tokoh Nurma. Nurma seorang pengacara dan sedang gigih membela nasib ibu Sri yang disangka melakukan pembunuhan terhadap suaminya karena membela diri. Usut punya usut, ibu Sri ini adalah istri pertama dari suaminya. Suaminya sendiri punya 3 istri. Di saat bersamaan, ia sedang menjalin affair guru les privat sekaligus atasannya di firma hukum tempat ia bekerja, Andy (Teuku Wisnu). Nah, masalahnya adalah Andy punya istri dan Nurma punya tunangan.
Tapi Nurma wanita berpendidikan. Di tengah kesibukannya membela ibu Sri, ia putuskan untuk pergi dari hidup Andy. Kalimat perpisahan dari Nurma yang sempat saya catat adalah “Bang, dari ibu Sri, Nurma belajar. Bahwa untuk mencintai seseorang, Nurma tidak perlu menyakiti hati orang lain. Semoga nggak ada ibu Sri yang lain ya, Bang. Biarlah Abang tetap jadi Bang Andy, guru privat yang pernah Nurma taksir.” Rasa kagum langsung terbetik di benak saya dengan kata-kata ini. Ya, bukankah mencintai tak berarti menghempas kebahagiaan orang lain? Saya pun kagum pada sahabat saya tadi. Ia juga berani memilih mundur jauh sebelum ia tahu bahwa si mantan pacar sudah memiliki tunangan. Ia memilih mundur dengan alasan “Aku tidak ingin jatuh di lubang yang sama, Din. Ridha apa yang akan kudapatkan dari hubungan itu? Tidak ada status sah di antara kami. Dia pun tak ada niat untuk langsung menikahiku. Ya sudah, apa yang mau kupertahankan?”.
Dan kini saya pun mengharapkan bahwa kelak ketika ia kembali bersinggungan dengan si mantan itu, ia bisa menghadapi dengan elegan. Bahkan mungkin lebih baik dari tokoh Shana (Zaskia Sungkar) di film ini. Shana ditinggal kabur Rangga (calon suaminya) tepat di hari pernikahan. Ini juga hal yang secara universal perempuan akan bilang “Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?” saat itu juga. Tangisnya perempuan ini pun manusiawi. Namun dia memutuskan untuk bangun lagi. Dia rintis toko cupcakes bersama sahabatnya dan abang sahabatnya dengan terseok-seok. Lalu di saat ia sudah benar-benar lupa, Rangga datang dengan calon istrinya untuk memesan cupcakes yang akan disajikan di pesta pernikahan mereka. Hebatnya, Shana melayani Rangga secara profesional. Seperti orang yang baru kenal hari itu juga. Tidak ada tangis, tidak ada umpatan, tidak ada intonasi tak suka. Saya yakin, dalam hati Shana ada badai yang datang lagi. Ada jutaan tanya yang ingin disampaikan. Di matanya pun ada air bah yang siap diterjunkan. Tapi senyumnya membuat semuanya berbeda. Saya ingin, suatu hari nanti sahabat saya tidak hanya memberikan senyum namun juga doa bagi mantan pacarnya ketika mereka kembali bersinggungan.
Bagaimanapun kuatnya kami Wanita Tetap Wanita.
Aku, Kami, dunia mungkin berkata kita rapuh seperti kristal. 
Biarkan mereka menilai seberapa kuatnya kita.
Perempuan.
Menjadi perempuan bukanlah sebuah pilihan tapi ini adalah takdir.
Kami senang mengambil keputusan atas hidup kami sendiri dan menjadi bahagialah yang aku sebut sebagai pilihan.
Sesekali patah, terpuruk namun selalu ada kekuatan extra untuk bangkit kembali.
Begitulah cara kami menghadapi dunia, pun saat hati jatuh cinta.

Tempat dimana aku menemukan banyak hal untuk dibaca
Malang, 06 Agustus 2014
12.08

0 komentar:

Posting Komentar