“God
made man stronger but not necessarily more intelligent. God gave woman
intuition and femininity. And, used properly, that combination easily jumbles
the brain of any man i’ve ever met.” –Farah Fawcett-
Kutipan dari Farah Fawcett tadi
cukup relevan dengan kondisi wanita, tentu tanpa mengesampingkan daya
laki-laki,ya. Saya juga tidak sedang menjadi feminis. Saya sedang mengagumi
betapa Allah memberikan keistimewaan pada wanita saat umat dari agama lain
memandang wanita sebelah mata. Allah adil. Adil sekali. Maha adil bahkan.
Catatan ini saya tulis bertepatan ketika saya usai menonton film Wanita Tetap
Wanita besutan Didi Riyadi, Teuku Wisnu, Irwansyah, dan Reza Rahadian.
Sebelum menonton film ini, saya
baru saja dicurhati seorang sahabat yang saya temukan ketika kami sama-sama
hijrah dari masa jahiliyah (hehehe). Singkat cerita, ia pernah punya mantan
pacar. Barangkali sudah hampir 5 tahun berpisah dan tidak pernah berkomunikasi
meskipun lewat dunia maya. Tapi beberapa waktu silam, mereka kembali
berkomunikasi. Sahabat saya yang dulunya manja sudah bermetamorfosa meski belum
sempurna. Tapi tetap setingkat lebih baik (Insya Allah) dari dia yang dulu saya
kenal. Singkatnya, si mantan pacar ini merasa nyaman curhat dengan sahabat
saya. Bahkan soal pernikahan. Si sahabat sudah mengingatkan, “kita sama-sama
belum menikah, tidak baik saling bicara pernikahan” bahkan bertanya “memangnya
tak ada orang lain yang bisa dicurhati soal ini selain aku?”. Sekeras-kerasnya
sahabat saya membentengi hati, ternyata setan masih lebih lihai. Sahabat saya
jatuh cinta lagi pada si mantan. Apalagi si mantan sering berkata “di antara
semua perempuan yang pernah dekat sama aku, hanya kamu yang bisa menerimaku
tanpa melihat kesuksesanku.” dan mengaku tidak sedang menjalin status dengan
siapa-siapa. Bahkan si mantan pernah mengajak sahabat saya untuk datang di
acara keluarganya untuk melewatkan malam tahun baru meski pada akhirnya sahabat
saya menolak.
Allah memang sebaik-baik
pembuat skenario. Dia memisahkan sahabat saya dari sang mantan walau begitu
kerasnya sahabat saya kembali berusaha melupakannya. Tapi nampaknya ujian
memang belum berakhir. Setelah berhasil menjauhkan diri dari si mantan selama
beberapa bulan, tiba-tiba ada kalimat tak enak mampir di telinganya. Singkat tapi
menyakitkan. “Kenapa harus ngambil
tunangan orang sih?”. Sahabat saya tadi sempat terpatung beberapa detik
kemudian menjawab lirih “Tunangan siapa
yang saya ambil? Siapa orang yang saya dekati?”. “Ya, Abimanyu (nama disamarkan)
itu. Kalian sempat jalan lagi kan setelah putus.” Jawab orang pertama
sembari menyebutkan nama si mantan pacar sahabat saya. *jeglerrr* sahabat saya
bilang, kata-kata itu hal yang pertama dan paling menyakitkan untuk dia dengar.
Barangkali bahasa gaulnya nano-nano
banget. Hehe.
Di akhir cerita, sahabat saya
memberikan klarifikasi “Sungguh, Din. Aku nggak pernah tahu kalau dia punya
tunangan. Berkali-kali dia datang padaku, aku selalu menanyakan statusnya. Karena
aku tahu betul, dia bukan tipe orang yang bisa jauh dari hubungan bernama
pacaran. Demi Allah dia selalu bilang, aku sendiri, aku sendiri. Aku pun tidak
akan bodohnya mau didekati laki-laki yang punya pacar apalagi tunangan.” Matanya
berkaca-kaca. Mencoba menabahkan diri.
Saya menemukan emosi yang
hampir sama saat menonton film Wanita Tetap Wanita dengan emosi saat saya
mendengarkan cerita dari sahabat saya tadi. Cerita First Crush dalam film ini yang centre
of interest nya adalah Revalina yang memerankan tokoh Nurma. Nurma seorang
pengacara dan sedang gigih membela nasib ibu Sri yang disangka melakukan
pembunuhan terhadap suaminya karena membela diri. Usut punya usut, ibu Sri ini
adalah istri pertama dari suaminya. Suaminya sendiri punya 3 istri. Di saat
bersamaan, ia sedang menjalin affair
guru les privat sekaligus atasannya di firma hukum tempat ia bekerja, Andy
(Teuku Wisnu). Nah, masalahnya adalah Andy punya istri dan Nurma punya
tunangan.
Tapi Nurma wanita berpendidikan.
Di tengah kesibukannya membela ibu Sri, ia putuskan untuk pergi dari hidup
Andy. Kalimat perpisahan dari Nurma yang sempat saya catat adalah “Bang, dari ibu Sri, Nurma belajar. Bahwa untuk
mencintai seseorang, Nurma tidak perlu menyakiti hati orang lain. Semoga nggak
ada ibu Sri yang lain ya, Bang. Biarlah Abang tetap jadi Bang Andy, guru privat
yang pernah Nurma taksir.” Rasa kagum langsung terbetik di benak saya
dengan kata-kata ini. Ya, bukankah mencintai tak berarti menghempas kebahagiaan
orang lain? Saya pun kagum pada sahabat saya tadi. Ia juga berani memilih
mundur jauh sebelum ia tahu bahwa si mantan pacar sudah memiliki tunangan. Ia memilih
mundur dengan alasan “Aku tidak ingin
jatuh di lubang yang sama, Din. Ridha apa yang akan kudapatkan dari hubungan
itu? Tidak ada status sah di antara kami. Dia pun tak ada niat untuk langsung
menikahiku. Ya sudah, apa yang mau kupertahankan?”.
Dan kini saya pun mengharapkan
bahwa kelak ketika ia kembali bersinggungan dengan si mantan itu, ia bisa
menghadapi dengan elegan. Bahkan mungkin lebih baik dari tokoh Shana (Zaskia
Sungkar) di film ini. Shana ditinggal kabur Rangga (calon suaminya) tepat di
hari pernikahan. Ini juga hal yang secara universal perempuan akan bilang “Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?”
saat itu juga. Tangisnya perempuan ini pun manusiawi. Namun dia memutuskan
untuk bangun lagi. Dia rintis toko cupcakes
bersama sahabatnya dan abang sahabatnya dengan terseok-seok. Lalu di saat
ia sudah benar-benar lupa, Rangga datang dengan calon istrinya untuk memesan cupcakes yang akan disajikan di pesta
pernikahan mereka. Hebatnya, Shana melayani Rangga secara profesional. Seperti orang
yang baru kenal hari itu juga. Tidak ada tangis, tidak ada umpatan, tidak ada
intonasi tak suka. Saya yakin, dalam hati Shana ada badai yang datang lagi. Ada
jutaan tanya yang ingin disampaikan. Di matanya pun ada air bah yang siap
diterjunkan. Tapi senyumnya membuat semuanya berbeda. Saya ingin, suatu hari
nanti sahabat saya tidak hanya memberikan senyum namun juga doa bagi mantan
pacarnya ketika mereka kembali bersinggungan.
Bagaimanapun kuatnya kami Wanita
Tetap Wanita.
Aku, Kami, dunia mungkin berkata
kita rapuh seperti kristal.
Biarkan mereka menilai seberapa
kuatnya kita.
Perempuan.
Menjadi perempuan bukanlah sebuah
pilihan tapi ini adalah takdir.
Kami senang mengambil keputusan atas
hidup kami sendiri dan menjadi bahagialah yang aku sebut sebagai pilihan.
Sesekali patah, terpuruk namun selalu ada kekuatan extra untuk bangkit
kembali.
Begitulah cara kami menghadapi dunia, pun saat hati jatuh cinta.
Tempat dimana
aku menemukan banyak hal untuk dibaca
Malang,
06 Agustus 2014
12.08
0 komentar:
Posting Komentar