Harusnya
tak perlu kuingat-ingat lagi. Begitukah? Tapi kenyataannya aku masih ingat.
Ingat betul bagaimana (sedikit) ketidak adilan itu menghampiriku. Sejak aku
memutuskan untuk berjilbab lebar dan besar, aku benar-benar ingin mengamalkan
segala hal yang diperintahkan Allah dan RasulNya kepadaku, pada para muslimah.
Termasuk soal cadar atau niqob. Jujur saja dulunya kupikir cadar itu perilaku
beragama yang berlebihan. Bukan sunnah melainkan segerombolan orang lebay dalam
menutup aurat. Semoga Allah mengampuni kebodohanku. Tapi sejak aku mengenal
dakwah ahlus sunnah, mengenal mbak-mbak kos dengan jilbab lebarnya dan
keinginan bercadarnya, dan jama’ah yang mengagumkan dalam menggaungkan sunnah,
aku jadi tahu bahwa cadar adalah sebuah sunnah. Sunnah yang terlupakan. Bahkan
oleh mereka yang mengaku penganut mahzab Imam Syafi’i (mohon maaf jika sedikit
kasar).
Berbekal
sedikit ilmu dan keberanian, pada masa perkuliahan semester 5 aku mencoba memakai
cadar. Dengan harapan dibalas pahala, ridha, dan surgaNya. Bukan hal mudah
karena orang tua pun sebenarnya sedikit keberatan dengan cadar tapi saya yakin
mereka selalu menghormati keputusan saya. Hari pertama dan kedua tidak terlalu
ada kasak kusuk. Hari ketiga ada teman yang menegur: pake cadar apa pake masker sihh?”.
Spontan aku menangis mendengarnya. Memang waktu itu cadarku akan kulepas
saat aku mencapai gedung perkuliahan. Bukan apa-apa. Hanya saja fakultas
tempatku berkuliah bukanlah fakultas yang dipenuhi oleh orang-orang agamis.
Sehingga hal yang berkaitan dengan keagamaan selalu dianggap sebagai sebuah
‘tindak kejahatan’ secara aklamasi oleh sebagian besar orang. Sehingga ketika
aku pernah bertanya soal hukum bercadar pada mbak-mbak di harakah, mereka
menjelaskan beberapa anjuran dari ulama’. Termasuk melepas cadar di tempat yang
memang belum diterima (sebab kemantapan hati untuk bercadar sudah besar). Hari
keempat, seorang sahabat bertanya “teman-teman
mau membicarakan secara terbuka soal cadarmu. Bolehkah? Kalau nggak boleh ya
nggak usah gapapa kok.”. kuiyakan sebagai wujud tanggung jawab atas
keputusanku.
Jika
saya tak salah ingat, hari itu adalah hari kamis. Hari kelimaku bercadar.
Teman-teman duduk melingkar di kelas. Aku berada di antara mereka. Satu per
satu mulai bertanya tentang keputusanku memakai jilbab. Pada awalnya masih
kujawab dengan setenang mungkin. Hingga beberapa pertanyaan yang kuingat begitu
menyakitkan berhasil meruntuhkan segala ketegaranku.
“ngaji dimana sih kamu kok pakai cadar
segala?”
“kata ustadzku, cadar itu cuma budaya orang
arab.”
“bukannya katamu semakin panjang jilbabnya
harus semakin baik akhlaqnya? Akhlaqmu kan belum baik kenapa pake cadar
segala?”
“eh, bukannya dulu kamu pernah deket sama
si ‘ini’ ya? Katanya kalau pacaran itu dosa. Kamu gimana sih?”
“bukannya kamu dulu pernah ngingetin begini
ya: ‘eh, *nama* s*sumu keliatan lho.’ Di depan banyak cowok ya?”
“kamu tuh kalo cadaran sekalian dong.
Jangan dibuka tutup kaya masker gitu. Dosa tau! Kamu pernah nasihatin aku untuk
pake jilbab kan? Kalo pake jilbab dibuka tutup kan dosa. Sama dong dengan
cadar. Ya maaf aku nggak dendam kok soal nasihatmu waktu itu, tapi bayangin ya
gimana perasaan ortumu kalo kamu dibilang berdosa sama orang lain hanya karena
ga pake jilbab. oh iya, aku tuh disuruh dekan buat ngawasi gerak gerikmu lho.
Kamu tak bilangin aja sebagai temenku. Oh iya kamu waktu itu pernah dibonceng
cowok juga kan? Padahal ada temen cewek yang mau nganter tapi kamu tolak.”
Blaa.... blaa... blaa...
Kujawab
satu per satu pertanyaan itu dengan mengemukakan dalil yang kuhafal. Satu per
satu sambil menahan tangis. Perlu diklarifikasi bahwa aku dekat dengan seorang
laki-laki di kelas saat aku belum memutuskan untuk hijrah dengan
sebenar-benarnya. Aku juga tidak pernah mengingatkan seseorang dengan kata-kata
yang langsung menunjuk pada organ wanita di depan teman laki-laki sekelasku,
bahkan teman yang katanya kuingatkan seperti itu pun berkata bahwa aku tak
pernah melakukannya. Aku memang pernah menasihati temanku sebut saja Mawar
untuk berjilbab. Sekali saja. Dan sampai sekarang yang bersangkutan memang
tidak berjilbab. Aku memang salah dalam memilih kata-kata karena saat itu aku
belum belajar fiqh dakwah (bahkan hingga kini di tahun terakhir kuliah aku
masih tertatih belajar fiqh dakwah). Namun aku ingat betul bahwa aku sudah
meminta maaf dengan setulus-tulusnya. Bahkan rela melakukan apapun demi
maafnya. Dan dia bilang sudah memaafkan. Suatu hari nanti ternyata aku tahu
jawabannya kenapa Mawar begitu membenciku. Soal dibonceng, aku memang pernah
dibonceng teman laki-laki saat sakit. Waktu itu aku mengalami pendarahan hebat.
Teman perempuan yang katanya akan mengantar pun tak kunjung menampakkan batang
hidungnya sehingga aku menerima tawaran diantar pulang seorang teman laki-laki
dalam kondisi terpaksa. Sejak saat itu hingga kini aku masih berusaha
mengembalikan kepercayaanku pada teman-temanku. Berusaha memaafkan dan
melupakan. Sedikit demi sedikit, satu demi satu. Tapi kejadian itu menyisakan
trauma mendalam di hatiku. Kondisi psikis dan fisikku langsung drop kala itu.
Cadar pun tak lagi kukenakan. Demi menghindari kejadian yang sama. Mengenaskan
bukan? Padahal aku kuliah di fakultas yang orang-orangnya mengagung-agungkan
Hak Asasi Manusia dan kebebasan. Bukankah aku bebas mengambil pilihanku untuk
menjadi seorang muslimah kaffah karena mereka mengakui HAM? Kenapa aku
dipersoalkan? Aku juga ingat betul bahwa aku pernah mencegah dan menggagalkan
upaya ‘sidang’ pada seorang teman di kelasku juga yang dianggap mencemarkan nama
baik kelas karena sering gonta-ganti pacar dari kelas-kelas tetangga. Jika dia
yang akan disidang itu disidang karena kesalahan, lalu dimana letak kesalahanku
hingga aku benar-benar disidang? Begitulah pikiranku kala itu. Tapi kemudian
aku sadar bahwa Allah ingin mengujiku. Seberapa kuat bertahan dengan cadarku. Belumlah dikatakan beriman seseorang apabila
ia belum diuji (Al Ankabuut ayat 2).
Catatan
ini kutulis bukan untuk menghakimi siapapun. Hanya untuk berbagi. Pada
mereka-mereka saudara seimanku yang ingin menjalankan sunnah dengan
sebaik-baiknya, jalankan saja. Jangan takut ocehan manusia. Kajilah fiqh dakwah
sebaik-baiknya hingga bisa ber-negosiasi dengan orang-orang yang tidak setuju
dengan sunnah (yang dianggap ekstrim) dengan cara sebaik-baiknya. Jika belum mampu, tak apa ditunda dan
silahkan berkonsultasi dengan ustadz-ustadzah yang dipercaya. Semoga selalu
tegar di jalan dakwah, di jalan sunnah. Doakan agar aku pun pulih dari trauma
dan cadar tak lagi hanya jadi sekedar barang gantungan.
Malang, 27
Mei 2014
16.46
WIB
0 komentar:
Posting Komentar