Harusnya
tak perlu kuingat-ingat lagi. Begitukah? Tapi kenyataannya aku masih ingat.
Ingat betul bagaimana (sedikit) ketidak adilan itu menghampiriku. Sejak aku
memutuskan untuk berjilbab lebar dan besar, aku benar-benar ingin mengamalkan
segala hal yang diperintahkan Allah dan RasulNya kepadaku, pada para muslimah.
Termasuk soal cadar atau niqob. Jujur saja dulunya kupikir cadar itu perilaku
beragama yang berlebihan. Bukan sunnah melainkan segerombolan orang lebay dalam
menutup aurat. Semoga Allah mengampuni kebodohanku. Tapi sejak aku mengenal
dakwah ahlus sunnah, mengenal mbak-mbak kos dengan jilbab lebarnya dan
keinginan bercadarnya, dan jama’ah yang mengagumkan dalam menggaungkan sunnah,
aku jadi tahu bahwa cadar adalah sebuah sunnah. Sunnah yang terlupakan. Bahkan
oleh mereka yang mengaku penganut mahzab Imam Syafi’i (mohon maaf jika sedikit
kasar).
Selasa, 05 Agustus 2014
Jika Aku, Kamu, dan Dia Harus Bercerai....
Akhir-akhir ini saya begitu
intens membaca novel atau menonton film yang berkaitan dengan segala pandangan
dan hidup wanita sebelum menikah dan setelah menikah. Ada banyak referensi yang
saya baca. Mulai Dilatasi Memori, Diorama Sepasang Albanna, Sakinah Bersamamu,
Catatan Hati Seorang Istri, Jangan Bercerai Bunda, Cinderella Syndrom, dll.
Saya juga sengaja menonton drama korea Emergency Couple guna mencari gambaran
bagaimana laki-laki dan perempuan menghadapi suatu hal bernama perceraian,
mengapa mereka memilih perceraian, dan bagaimana hidup mereka setelah
perceraian. Tulisan ini semata-mata adalah bagaimana saya memandang sebuah
momen bernama PERCERAIAN itu sendiri.
Bagaimana bentuk hati dan cinta
ketika ia bersemi dan mengubah segala aspek hidup seseorang? Dari status,
kegiatan sehari-hari, hingga persepsi. Barangkali bentuk hati dan cinta itu
laksana negeri dongeng tanpa cela manakala kita baru saja belajar mencintai
seseorang, sedang mencintai seseorang, dan baru saja menikahi seseorang. Saya
pun sempat dengan naifnya berkata: siapapun yang sudah menikahi seseorang, maka
ia harus menerima orang yang ia nikahi tanpa tapi. Naif bukan? Seolah saya lupa
bahwa seseorang yang dinikahi dan menikahi itu adalah manusia. Manusia yang
punya hasrat, persepsi, dan keahlian mengomplain (hahaha...).
Kami Wanita
“God
made man stronger but not necessarily more intelligent. God gave woman
intuition and femininity. And, used properly, that combination easily jumbles
the brain of any man i’ve ever met.” –Farah Fawcett-
Kutipan dari Farah Fawcett tadi
cukup relevan dengan kondisi wanita, tentu tanpa mengesampingkan daya
laki-laki,ya. Saya juga tidak sedang menjadi feminis. Saya sedang mengagumi
betapa Allah memberikan keistimewaan pada wanita saat umat dari agama lain
memandang wanita sebelah mata. Allah adil. Adil sekali. Maha adil bahkan.
Catatan ini saya tulis bertepatan ketika saya usai menonton film Wanita Tetap
Wanita besutan Didi Riyadi, Teuku Wisnu, Irwansyah, dan Reza Rahadian.
Minggu, 26 Januari 2014
Daun yang Gugur
Aku hanya daun
Yang selalu gugur
Saat angin menyapaku
Dan angin itu adalah
dirimu
Aku
hanya daun
Yang
selalu gugur
Tapi
aku tak pernah mampu
Membencimu
yang menggugurkanku
Aku hanya daun
Yang selalu gugur
Sesering kau
menghampiriku
Sesering itu pula aku
hancur
Aku
hanya daun
Yang
selalu gugur
Dan
aku berharap pada Tuhanku
Suatu
hari akan ada hujan
Yang
memberiku dunia baru
Dengan
begitu,
Aku
bisa melupakan
Sakitnya
tergugurkan olehmu.
Roudhotul
Jannah, 17 Januari 2014 20:38
Kamis, 23 Mei 2013
Ketika Allah Menyentuh Hatiku dengan Cara yang Kusuka
Lagi,
Allah selalu tahu bagaimana caranya menyentuh hatiku. Hari ini aku dibangunkan
pukul 01.50 WIB karena aku belum shalat Isya’ (yang ini bukan untuk
ditiru). Setelah 10 menit berada di
kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu, aku bersiap-siap untuk
menunaikan shalat. Tapi, ‘krucukkk....krucukkkk’
aku baru ingat kalau seharian kemarin aku hanya sekali makan nasi. ‘Pantas saja jam segini sudah lapar!’ batinku. Kubuat segelas susu coklat dingin
(karena Sidoarjo itu panasnya Masya Allah) dan mengambil beberapa cemilan di kulkas.
Setelah mengisi perut sebentar, aku pun shalat.
Usai
shalat, ternyata kantukku sudah hilang. Kunyalakan televisi yang hanya kulihat
ketika aku ada di rumah dan ketika ingin melihat saja. Kebiasaan hidup tanpa
televisi di kontrakan ketika sedang aktif kuliah di Malang membuatku tidak lagi
suka menonton televisi. Angka-angka channel di remote kupencet bergantian. Tidak
ada yang menarik. Sebagian besar yang ditayangkan berhubungan dengan
dunia-dunia malam yang liar. Tapi eiitss tanganku terhenti ketika aku sampai di
stasiun T**** 7. Ada sebuah film yang diputar. ‘Film apaan nih?’ waktu itu aku tidak sempat melihat judul yang
ditayangkan di sudut layar. Ditambah aku juga tidak tahu apakah film ini baru
saja dimulai penayangannya atau sudah hampir kelar. Namanya juga nonton
dadakan.
Langganan:
Postingan (Atom)